Minggu, Maret 14, 2010

Keadilan Ilahi

Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka
perangi (ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang, sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat [49]: 9)
Lanjutan ayat ini perlu mendapat perhatian, yakni : Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Hujurat [49]: 9) Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada lanjutan ayat ini dengan “keharusan berlaku adil”. Karena walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak awal proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan untuk para juru damai setelah mereka terlibat menindak tegas kelompok pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga diri akibat ulah para pembangkang. Kerugian tersebut dapat mendorongnya untuk berlaku tidak adil, karena itu ayat ini menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil. Begitu luas pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang merasa sempit dari keadilan, pasti akan merasakan bahwa ketidakadilan jauh lebih sempit.
KEADILAN ILAHI
Pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru. Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik dan buruk Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam bencana ? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.Tetapi tidak mudah memahami - apalagi menjelaskan - persoalan ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, “Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya.” Jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar. Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan : Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti ini - yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya (QS Al-An’am [6]: 1) Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa, Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]:7).Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian.
Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216).
Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi,bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam, tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan memujinya? Karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro. Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu. Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?
Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan, “Manusia itu adalah untuk umat yang satu” (QS Al-Baqarah [2]: 213)
Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu juga. Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab (pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada Tuhanmulah mereka dihimpunkan (QS Al-An’am [6]: 38).
Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak, bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan untuk itu ada di antara mereka yang menjadi “korban” demi kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia. Korban (yang mengalami “keburukan”) harus ada, demi mewujudnya kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui arti berani, jika tidak ada bahaya? Bagaimana mereka mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak merasakan sakit? Apa artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapakah yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga? Apabila penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka setimpallah akibat dengan ulahnya. Sedangkan apabila tidak bersalah, maka pengorbanan manusia akan beroleh ganjaran di sisi Allah, yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat di akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157).
Patut dicatat bahwa Allah memberikan potensi kepada manusia untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya, begitu kata pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran. Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11).
Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai dan memahami tujuan keberadaannya. Anda boleh bertanya, “Mengapa kerja sama itu harus ada? Bukankah Allah Mahamutlak kesempurnaan dan kekuasaanNya, sehingga Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun tanpa kerja sama?” Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena Bagi Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A’raf [7]: 180).
Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah nalar Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya? Jika itu yang diinginkan, akan terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan saja dari segi redaksional kata “mutlak” (kemutlakan mengandung arti kesendirian), melainkan juga mustahil dari sisi keyakinan “keesaan-Nya”, serta bertentangan pula dengan firman-Nya, Tiada yang serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11). Yakni, jangankan yang sama dengan-Nya, yang serupa dengan serupa-Nya pun tiada.
Adalah logis bahwa Pencipta harus berbeda dengan yang diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan sang pencipta. Kekurangan dan ketidaksempurnaan itu mencakup apa yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa bahwa yang dinamakan dan dikeluhkan manusia itu tidak mencakup seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan hanya diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan yang diderita seseorang dapat menjadi nikmat bagi dirinya sendiri di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain.
Harus diingat juga bahwa terdapat banyak makhluk Allah dan sebagian besar tidak diketahui manusia, sebab seperti firman-Nya, Dia menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl [16]: 8).
Konon pengetahuan manusia baru dapat menjangkau sekitar 3% dari seluruh alam raya ini. Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud
dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui ciptaan-Nya?
Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan ini, “tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan dan kejahatan? ” Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan ” mencipta dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai kesempurnaan” (seperti makna keadilan Ilahi yang dikemukakan sebelum ini), jauh lebih baik.
Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat besar.
KEADILAN SOSIAL
Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang. Berbuat baik melebihi keadilan –seperti memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas– akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS Al-Nahl 116]: 90),
Karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan. Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat. Imam Ali r.a. bersabda, “Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya.” Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang.
Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw. menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya. Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi Saw. Beliau memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan memaafkan, maka Nabi Saw. bersabda. “Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya kepadaku” (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian ketetapan Ilahi.
Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, sedangkan yang memben manfaat bagi manusia itulah yang tetap bertahan di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS Al-Raid [13]: 17).
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253).
Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat (49): 13.
Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan: ” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan di antara mereka (melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]:148).
Setiap perlombaan menjanjikan “hadiah”. Di sini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan baik… (QS Al-Nisa’ [4]: 95).
Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).
Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai “kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing. ” Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial. Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain, bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan sosial.
KESEJAHTERAAN SOSIAL
“Sejahtera” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya.” Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera. Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan.
Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:
Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia: Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi’ah [56]: 25 dan 26).
Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman (Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).
Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam, setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS Al-Baqarah [2]: 38).
Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:
Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar bantuan keuangan –apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam.
DARI MANAKAH MEMULAINYA?
Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra’, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial dimulai dengan “Islam”, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality):
Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya ? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah — apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal — adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa : Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu… (QS Al-Hadid [57]: 22-23).
Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan. Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa adalah, Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3)
Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS Al-Nisa’ [4]: 9).
Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi. Kewajiban tersebut — sebagaimana halnya setiap kewajiban — melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya iman (Diriwayatkan oleh Muslim).
Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan, bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, di antaranya : Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS Al-Ma’un [107]: 1-3)
Redaksi ayat di atas bukanlah “tidak memberi makan”, melainkan “tidak menganjurkan memberi pangan”. Ini mencerrninkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan. Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan
untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, “Berlapang-lapanglah di dalam majelis!”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11).
Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).
Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw.
tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu.
Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263).
Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah [2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa’ [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).
***
Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan kesejahteraan. Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun, prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya –melalui
tulisan singkat ini– telah dapat tercerminkan. []
Catatan kaki:
1 Sayyid Quthb, Dirasat Islamiyah,
Al-Ma’arif, Kairo, 1967, hlm. 63
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sahabat-sahabatku

Spirit

Kebesaran dan kehebatan seorang manusia bukanlah karena dia tidak pernah gagal, tapi karena tidak pernah berhenti dan selalu bangkit setiap mengalami kegagalan

Semua orang yang sukses harus mengalami minimal 1-2 kegagalan terlebih dahulu 

Ingat, setiap kegagalan, bagaimanapun buruknya hal itu tergantung dari sudut mana anda melihatnya dan menyikapinya

novyar nafis on Facebook