Rabu, April 14, 2010

Miskin dan Kaya

Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi. Siapa yanglebih baik di antara keduanya? Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati? Sebagian sufi, seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali, memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw, yang hartawan, tapi dermawan, semacam Utsman Ibn 'Affan dan Abdul Rahman Ibn 'Auf. Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf, mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara', Hlh. 25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak, maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat. Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karena langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai itu, tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat diidentifikasi sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini, tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi saw, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi). Sebaliknya, banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah, ''Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.'' (Al-'Alaq: 6-7).Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah swt membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9). Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini, karena perkataan 'dibuat kaya' (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin ('Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali, kaya di situ lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw bukan saja dapat mengatasi kebutuhankebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah swt. Wallahu a'lam! 
By A Ilyas Ismail MA
Rabu, 22 Juli 2009 pukul 17:31:00
WORDPRESS.COM/ILUSTRASI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sahabat-sahabatku

Spirit

Kebesaran dan kehebatan seorang manusia bukanlah karena dia tidak pernah gagal, tapi karena tidak pernah berhenti dan selalu bangkit setiap mengalami kegagalan

Semua orang yang sukses harus mengalami minimal 1-2 kegagalan terlebih dahulu 

Ingat, setiap kegagalan, bagaimanapun buruknya hal itu tergantung dari sudut mana anda melihatnya dan menyikapinya

novyar nafis on Facebook