Minggu, Mei 09, 2010

Ada Apa Dengan Pajak...?

Sekelompok orang menamakan dirinya gerakan anti bayar pajak muncul di sebuah jejaring sosial. Anggotanya sudah mencapai ribuan. Konon ini merupakan aksi—lebih tepatnya reaksi—dari markus atawa mekelar kasus semisal Gayus [Halomoan Tambunan], orang [per]pajak[an] yang disinyalir merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah.
Sas-sus yang berkembang—karena memang tak pernah melihatnya langsung—di rekening Gayus tercatat wang 25 milirian. Sebuah angka yang mustahil mengingat ia cuma pegawai golongan III A yang bergaji 11,1 per bulan, tambah lagi dia bukanlah pegawai lama [puluhan tahun] di pajak.
Fenomena ini mengingatkan saya dengan Orang Samin atawa Orang Sikep yang ada di Blora tanah jawa sana—sejauh yang saya baca di wikipedia.org dan beberapa referensi lain yang saya temukan melalui mesin pecari semisal google.com—[Anda tahu sendiri, otak saya yang pas-pasan paling jauh cuma bisa menjangkau apa yang ditulis di ensiklopedia milik umat itu]. Mereka juga menolak membayar pajak—bahkan sejak jaman kolonial Belanda masih lagi bercokol di nusantara ini.
Apa yang melatar belakangi?
Orang Samin rupanya menganut paham saminisme yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. [boleh dicek di wikipedia.org edisi Indonesia dengan kata kunci: Orang Samin]
Memang mereka tidak melawan secara frontal semisal membentuk kelompok anti bayar pajak di jejaring sosial, tambah lagi memang belum mengenal internet, tapi melakukannya secara nyeleneh alias aneh-aneh dan kadang lucu tapi masuk akal—dan anti kekerasan. Konon, satu kali ketika ketika mereka diharus juga membayar pajak, ramai-ramailah mereka membawa nyamuk, ulat, capung, belalang, lalat, dan binatang-binatang kecil lainnya. Ambtenaar kantor pajak tentu heran: “Kalian mau ngapain?” Orang Samin menjawab hendak membayar “pajak”, dan menyerahkan binatang-binatang itu. Mereka bilang itulah peliharaan mereka. Bah!
Menurut Orang Samin, untuk apa bayar pajak? Tokh, mereka bisa mengurus urusan sendiri. Kalau jalan rusak mereka bisa betulkan sendiri. Apalagi memang mereka menolak untuk sekolah: jadi untuk apa gedung sekolah? Kalaupun memang perlu, kalau-kalau pun, Orang Samin sendiri yang akan membangun. Begitu juga dengan jembatan, gedung-gedung, dlst. Mereka bisa mengurus urusannya sendiri.
Mungkin mereka semacam masyarakat anarkis—bukan dalam arti kekerasan semisal yang kita baca di kamus umum bahasa indonesianya WJS. Poerwadaminta.
Bung,
Kembali ke soal awal: gerakan anti pajak. Kalau kemudian kita membayar pajak tapi malah jalan tetap rusak, sekolah-sekolah tetap tak terjangkau [walau konon katanya sekolah gratis ada dimana-mana], berobat tak tergapai, bagaimana juga?
Semuanya tak pernah diperhatikan, seolah dibiarkan berjalan sendiri saja, kalau jalan rusak ya kalau bisa masyarakatnya swadaya membenarkan, kalau ada yang sakit dan tak ada biaya, —pengalaman saya pernah mendampingi saudara jauh: berusahalah sebisa mungkin dapat surat miskin; karena tak terdaftar di jamkesda dan jamkesmas, kemudian dibola-bola kesana kemari di rumah sakit, lalu terakhir dibilang: untuk penyakit ini memang tidak bisa dibiayai. Walah! Tak diperlukan sebagai warga negara yang memang sudah bayar pajak.
Kata Pak Gombel—kawan dekat saya—bilang, “Kita kok merasa jadi warga negara pas giliran bayar pajak saja!”
Tambah lagi ada orang-orang semacam Gayus—yang hitung-hitungannya akhirnya: kalau Gayus saja bisa begitu, macam mana yang lebih tinggi?—yang bukannya uang itu diserahkan ke negara, tapi malah bernegosiasi dengan wajib pajak agar bisa sebagian besar uang itu masuk ke kantong pribadinya. Bah! Mereka [orang-orang pajak] itu memang “bijak”, memang lihai, biar tak ketahuan tindak-tanduknya buat slogan: “Bayar pajak awasi penggunaannya!”—yang benar kan awasi pegawainya.
Bung,
Terlepas dari isu ini sengaja dijaga agar perhatian kita semakin terlepas dari skandal cetury yang tak jelas ujung-ujungnya kemana [selain dibiarkan menguap] kayaknya hal ini perlu kita cermati. Saya tak bermaksud mengajak Anda untuk tidak bayar pajak. Tapi cuma ingin hitung-hitungan sederhana saja. Apa kata Anda?
Medan, 01/01/2010
Salaman,
jemie simatupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sahabat-sahabatku

Spirit

Kebesaran dan kehebatan seorang manusia bukanlah karena dia tidak pernah gagal, tapi karena tidak pernah berhenti dan selalu bangkit setiap mengalami kegagalan

Semua orang yang sukses harus mengalami minimal 1-2 kegagalan terlebih dahulu 

Ingat, setiap kegagalan, bagaimanapun buruknya hal itu tergantung dari sudut mana anda melihatnya dan menyikapinya

novyar nafis on Facebook